Malam itu, saya pergi berselancar bersama Eyang Google. Mata saya terbelalak melihat kata-kata berbunyi ”Melawan Hegemoni ITB” tercecer di milist alumni ITB. Padahal niat awal hanya mencari kabar tentang Dies Emas ITB setahun lalu (nama ITB resmi dipakai 2 Maret 1959). Karena penasaran, saya malah menelusuri perdebatan ini, tanpa suatu tendensi apapun. Sampai pertanyaan, siapa kampus teknik terbaik di Indonesia? Kakaknya atau adiknya?
Kampus ITS, ITS Online – Soal SNMPTN baru saja dibagikan. Mata Andi melirik Tono. “No…Pilih apa nih, B atau S?”. “B aja. B itu pasti Bahagia”. “Kalau S?”. “S itu Sengsara Ndi. ” sekejap gigi Tono berderet tampil di bawah bibirnya yang mengembang. Sementara alis Andi mengerut keheranan. Cita-cita keduanya memang jadi insinyur. Setahu mereka, hanya ada dua sekolah yang secara jantan bisa memberi mimpi itu. Tidak sedikit anak seperti Andi yang selalu bingung memilih kampus tambatan hatinya. Akhirnya image-lah yang menuntun mereka menempatkan B dulu baru S. Benar salah?
Saat ini, hampir tiap kampus memiliki jurusan teknik, kecuali Akademi Kebidanan. Tapi kalau bicara masalah dedengkotnya teknik, hanya ada dua: ITB dan ITS. Nama besar keduanya jadi rebutan anak-anak SMA sederajat. ITB terkenal dengan nama harum alumninya, salah satunya Ir Soekarno, sedangkan ITS terkenal dengan industri maritim dan dunia robotikanya.
Sayang, di mata masyarakat luas, keberadaan ITS masih di bawah bayang-bayang saudara tuanya. Seperti bayang-bayang klub sepak bola Manchester United di atas Manchester City. Wajar saja, sejak SNMPTN masih bernama UMPTN sekitar 20 tahun lalu, nama ITB tak pernah bergeser dari posisi puncak nilai rata-rata terbaik untuk kelompok IPA. ITB tetap paling favorit sedang ITS hanya mampu menggoda siswa SMA sederajat di wilayah Jawa Timur dan sebagian Indonesia Timur. Bahkan di wilayah barat, nama ITS hanya terdengar sayup-sayup.
Terbukti, tiap kali saya pulang kampung ke Depok, Jawa Barat, banyak tetangga yang bilang, “ITS ya, swasta atau negeri tuh?”. Dalam hati saya membalas,”Swasta dari Hongkong!!!”. “Wah…hebat kamu ya bisa kuliah di Hongkong.” ternyata ia bisa baca kata hati saya. Lain tetangga, lain pula tusukan teman lama saya yang polosnya luar biasa. ”Kuliah dimana sekarang?” tanyanya. “Ehm…jadi nggak enak nih nyebut-nya,” gaya saya agak sombong. “ITS dong bro!” jawab saya bersemangat. “Wah…ITS, pinter juga lu bro! Di Semarang nge-kos apa sama saudara?”. Yah…
***
Sekali lagi, tanpa tendensi dan tiap fakta di bawah ini tak bisa digeneralisasi. Saya juga tak mau disebut seperti kata pepatah: istri tetangga lebih cantik dari istri sendiri. Oh salah, rumput tetangga maksudnya. Saya hanya pengamat dari perdebatan everything about ITS dan ITB di dunia maya. Saya laporkan di sini dengan kerendahan hati, semoga kita semakin terpacu.
Percaya Diri
Banyak blog (malah dari anak ITB sendiri) menyimpulkan bahwa sombong adalah sifat yang paling kentara dari anak ITB. Kalau saya menilainya bukan sombong tapi percaya diri. Simpulan lain, anak ITS malah down ketika berhadapan dengan nama besar UI, ITB, dan UGM. Pada poin terakhir ini, 80 % saya sepakat. Entah mengapa, aura mereka begitu menyilaukan.
Saya punya teman SMA di ITB, ketika sekelas di SMA dulu levelnya sepadan lah dengan saya. Kelas terbang menengah. Artinya rangking selalu melayang, bodoh tidak, pintar apalagi. Tapi ketika terakhir bertemu, wah…berubah! Kepercayaan dirinya menanjak drastis terlihat dari caranya berbicara. Katanya, menyandang gelar “anak ITB” membuatnya percaya diri. Padahal dulu, kalau ada tugas presentasi bawaannya izin ke belakang terus.
Ada sebuah idiom unik di sebuah blog,”Kalau orang ITB mikirnya negara, kalau orang ITS mikirnya bagaimana mengalahkan ITB,”. “Yah…kalau ITS mah nggak level,” tambahnya. Kalau ITS masih coba melangkahi ITB. Kami (ITB), tulisnya, sudah berpikir bagaimana bersaing dengan Todai, Kyodai, Beijing, Nanyang, NUS, Chulalongkorn dkk. “Lewatin dulu tuh UI sama UGM!” lanjutnya.
Saya sama sekali tidak marah. Malah saya bergumam,”Oh iya, kenapa tidak berpikir sejauh itu?”. Kalau sparring partner kita Tokyo Daigaku bahkan MIT, mungkin kita bisa lari lebih cepat. Mudah-mudahan saya sedang tidak bermimpi.
Contoh lain adalah masalah gaji. Di banyak forum diskusi dunia maya, banyak cerita kalau anak ITS ketika ditanya tentang gaji oleh interviewer, menjawab dengan malu-malu,”Terserah Bapak saja,” . Lantas kemudian dibalas Sang HRD “Di bawah UMR ya?”. Dalam hati saya mencandai, “Oh iya Pak, tidak apa-apa, yang penting bisa makan. Ngomong-ngomong UMR itu apa Pak?”
Beberapa posting menyebut bahwa fresh graduate ITB terkenal berani pasang tarif tinggi. Benar atau tidak tak jadi masalah. Bagi saya bukan masalah uangnya, tapi keyakinannya. Seperti beberapa ekspatriat di Indonesia. Berapa persen sih dari mereka yang punya ”kemampuan sebenarnya”. Kadang malah hanya menang penampilan, percaya diri, dan bahasa Inggris cas-cis-cus.
Lulusan bermutu ibarat Mercy SL Class. Dua milyar atau sebanding dengan dua Alphard pun jadi impas untuk mobil dengan spesifikasi seperti itu. Nah, anak ITS bisa kasih harga bersaing seperti anak ITB. Kalau cocok, membayar berapa pun perusahaan mau. Usut punya usut, beberapa survey top university juga melakukan penilaian terhadap “harga jual” fresh graduate dalam menentukan world rank.
Apresiasi
Saya membaca dua tulisan tentang perkembangan robot ITB di website ITB. Sangat apresiatif. Walaupun seumur hidupnya tak pernah mampu mengalahkan PENS-ITS, mereka punya tekad besar dan dukungan besar untuk maju. Namun di beberapa blog, terpuruknya ITB di bidang robotika jadi bulan-bulanan civitasnya. Dari kritik sampai hujatan, lengkap. Maklum, Robot sudah seperti lambang supremasi anak teknik. Salutnya, walau ada beberapa yang tetap tak mau mengakui dengan menunjukkan prestasi ITB di bidang lain, tapi masih lebih banyak yang bilang,”Kita harus belajar dari mereka,”.
Saat saya main ke UI, waktu itu UI bikin baliho besar ucapan selamat atas masuknya UI di peringkat 250 besar world’s top university. Saya hanya membayangkan sambil tersenyum, itu baliho bisa sebesar apa ya kalau UI peringkat satu universitas terbaik sedunia-akhirat.
Penghormatan yang mungkin kurang dari diri kita. Banyak mahasiswa yang mendapat juara “cuma diambil pialanya saja”. Padahal berapa sih ongkos bikin spanduk untuk membuat ucapan selamat. Bunyi “Selamat kepada Tono atas Juara bla bla bla” itu sudah cukup. Si pemilik nama yang dipampang di sudut jalan itu wes bangganya minta ampun.
Kurang apresiasi atau memang tak ada yang berprestasi, saya tidak tahu. Saya jadi ingat kawan saya di salah satu organisasi yang sering lomba ke luar negeri. Ia mengeluh,”Kalau kita sukses saja, baru dibangga-banggakan. Tapi giliran dimintai bantuan (moril atau materil) pada ngilang semua,”. Ya, mahasiswa butuh apresiasi atas tiap ukir prestasi mereka.
Bukan hanya satu, saya sering dengar banyak mahasiswa ITS baik yang mewakili organisasi ataupun pribadi, ketika lomba pakai kantong sendiri dengan segala keterbatasannya. Tapi ketika pulang bawa piala dianggap usaha bersama satu ITS. Istilah kebahasaannya “Totem Pro Parte”.
Saya yakin sekali, sebenarnya segmen profil dalam website ITS dapat terus di-update. Namun terkadang, prestasi tersebut sampai ke meja redaksi hanya dari mulut ke mulut. Sedangkan sangat tidak mungkin bagi 12 reporter ITS Online untuk menanyakan satu per satu ke jurusan, siapa civitas yang berprestasi minggu ini.
Masalah jumlah doktor dan profesor juga jadi perdebatan. Kata mereka dalam forum, jumlah doktor pengaruh pada kualitas pengajaran. ITB masih menang jauh dari ITS. Dari 1056 dosen, ITB punya 800 doktor. Sedangkan dari data Laporan Rektor ITS, sampai Oktober 2008 (maaf kurang update) dosen ITS yang bergelar doktor hanya 200 dari 1125 orang. Belum lagi melihat produktivitas ITB dalam jurnal ilmiah internasional. Kurun Juni 2009, ITB masih peringkat teratas, bahkan di atas LIPI. Sedangkan nama ITS belum nongol di lima besar se-Indonesia versi Scopus.
Beberapa tahun lalu, seorang pejabat ITS pernah mengeluh pada media lokal kalau ITS susah menambah doktor dan profesornya karena kurangnya motivasi dan sibuk “ngantor” di luar. Tapi sekarang (mungkin) beda, ITS sedang produktif menghasilkan profesor baru. Para dosen juga “dipaksa” jadi doktor, kalau tidak bisa dibilang terpaksa karena malu dosen-dosen muda sekarang sudah banyak yang doktor. Sekali lagi, motivasi dan apresiasi.
Dr Nieuwenhuis berkata “Suatu bangsa tidak akan maju sebelum ada di antara bangsa itu segolongan guru yang suka berkurban untuk keperluan bangsanya,”. Saya mengartikannya sebagai sosok guru yang tulus mengembangkan ilmu untuk muridnya. Melalui muridnya itulah bangsa ini maju. Walaupun guru itu yang akhirnya menjadi korban dengan kesederhanaannya.
Pola pikir terbuka
Walaupun (katanya) sombong, alumni ITB secara terbuka ramai mengkritik almamaternya sendiri. Lihat milis dan blog bertema ITB. Terkadang kritiknya pedas, sehingga debat kusir sering terjadi di dunia maya. Uniknya, pemikiran terbuka dan perdebatan itu berjalan konstruktif.
Mereka juga membahas guyonan Jusuf Kalla saat memberi pidato saat Dies Emas ITB 2009 kemarin. “Kalau negeri ini gagal, maka ITB harus bertanggung jawab,”. Argumen Kalla waktu itu karena ITB menempatkan tujuh alumninya di kabinet SBY-JK. Cukup logis, apalagi dua orang ITB juga pernah meraih kursi RI 1. Hati saya nyeletuk, untung ITS cuma taruh Pak Nuh.
Termasuk pola pikir ”Saya harus kerja jadi insinyur, karena saya lulusan ITS!” itu cukup terpatri kuat. Apa memang hukumnya wajib ketika saya lulus nanti saya harus bergaul dengan alat-alat pertukangan? Apa tidak ada pilihan lain? Jujur, terkadang hal ini menghambat pola pikir kreatif. Tapi saya sadar, saya tak boleh mengingkari ”kodrat” sebagai (nantinya) alumni institut teknologi.
Dalam beberapa blog, civitas ITB begitu bangga dengan pesebaran alumninya. Mereka bernostalgia dengan nama besar Soekarno dan Habibie. Mereka juga bercerita bagaimana apiknya Hatta Radjasa membanting setir dari Kepala BPPT menjadi Ketua Parpol lalu sekarang jadi Ketua Ikatan Alumni ITB. Atau Ahmad Bakrie dan Arifin Panigoro dengan raksasa bernama Bakrie Group dan Medco Group yang mereka rintis dari nol. Mungkin lebih mencengangkan adalah kisah hidup anak desa dari Sulawesi: Ciputra.
Tak jarang alumni ITB yang justru keluar jalur. Seperti bagaimana fasihnya seorang Fadjroel Rahman dan Rizal Ramli beretorika tentang sistem ekonomi negara. Lain hal, tentu para pecinta sastra tak lupa ketika Nirwan Dewanto mengagetkan dunia sastra Indonesia saat ia tampil di kongres kebudayaan 20 tahun silam. Atau bagaimana seorang Purwacaraka pandai menggubah partitur walau latar pendidikannya Teknik Industri.
Sebenarnya pola pikir ini harus sedikit demi sedikit tertanam. Mungkin sudah mulai tampak dalam dunia akdemik dan kemahasiswaan di ITS. Munculnya pelatihan ESQ, mata kuliah Technopreneurship, seminar-seminar softskill, dan semakin banyak mahasiswa yang cum laude dan lulus tepat waktu (walau saya tak termasuk di dalamnya) bisa jadi bukti. Geliat kegiatan mahasiswa juga mulai tampak kreatif dan tepat guna. Beberapa tahun terakhir, dari mahasiswa muncul sebuah gerakan dinamisasi untuk mendobrak jauh keluar pattern yang kolot.
Alumni
Sadar atau tidak, IKA ITS jadi panutan bagi ikatan alumni lainnya. Bahkan di milis IA ITB, IKA ITS benar-benar disanjung. Bukan sebuah khayalan, ikatan alumni bisa jadi kendaraan politik yang cukup solid dan bernilai. Hal itu yang terjadi pada Joko Kirmanto (Menteri PU) mantan Ketua KAGAMA, Sofyan Djalil (mantan Menkominfo) juga bosnya ILUNI, dan Hatta Radjasa (Menko Ekuin) adalah Ketua IA ITB.
Alumni ITB tersebut kagum dengan kedewasaan para alumni ITS. Alumni ITS, katanya, tidak ambisius dan saling sikut. Padahal Pak Nuh, saat masih Menkominfo, berpeluang besar jadi ketua. ”Apa ia nggak mau ikut jejak temannya di kabinet?” katanya. Tapi IKA ITS mampu mendorong agar Pak Nuh fokus pada amanahnya sehingga kursi Ketum jatuh ke Dwi Sutjipto, Dirut Semen Gresik, tanpa “pertumpahan darah”.
Bukan isapan jempol. Saya pernah kerja praktek di galangan. Ketika itu banyak alumni ITS (bukan banyak tapi semuanya), saya serasa hidup di rumah sendiri. Pembimbing saya sangat membantu, termasuk memudahkan saya membuat laporan. Kalau bertemu alumni ITS rasanya seperti kawan lama tak bersua.
Kekuatan alumni inilah yang sering terlupa. ITB dan UI terkenal punya jaringan yang menggurita di pemerintahan, BUMN, dan BUMS. Kesolidannya terihat dimana ketika ada alumninya yang promosi jabatan, maka semua alumni serentak mendukung. Mereka juga secara aktif menempatkan alumni terbaiknya di institusi penting itu dan merekrut juniornya untuk turut mewarnai institusi. ”Alumni ITS kelihatannya kalau sukses sendiri-sendiri,” tulis dalam milis itu. Belum lagi tentang loyalitas mereka pada almamater.
Alumni ITS? Diam-diam menghanyutkan. Baru-baru ini terbit buku berjudul Inspire to Succes: Menuju Kemandirian Bangsa Ide 100 tokoh alumni ITS. Entrepreneur, Pejabat BUMN/BUMS, Pemerintahan, Pendidikan, LSM/Organisasi, dan peneliti. Pucuk-pucuk pimpinan dan posisi strategis itu sudah pernah kita pegang. Bahkan tak sedikit, alumni ITS yang keluar jalur dan sukses. Walau tak sepopuler alumni ITB, nyatanya alumni ITS juga tak bisa dipandang remeh.
Semua poin tadi adalah sedikit perbandingan saja. Masing-masing punya karakter dan nilai positif. Agar tak tergelincir, maka belajarlah merunduk seperti padi. ITB dan ITS memang kampus teknik terbaik, tapi baru di kandang sendiri. Ketika di Asia apalagi dunia, nama keduanya masih ”di bawah garis kemiskinan”. Bagi saya, lulusan apa pun kita atau bahkan tak pernah mencicipi bangku kuliah sekalipun, akan lebih bernilai ketika kita mampu berkontribusi bagi masyarakat luas di sekitar kita. Dengan cara apapun.
”Dik, Kakak beri kamu sebungkus hadiah untuk ulang tahunmu November besok,”.
”Jangan Kak. Beri saja hadiah itu pada Ibu. Dialah yang berjasa sampai kita berumur 50,”
”Sekarang Ibu mana?”
”Itu…” Sang Adik menunjuk gubuk-gubuk reot di balik kemegahan gedung berteknologi tinggi yang dibangun para insinyur cerdas.
Oleh: Bahtiar Rifai Septiansyah
Mahasiswa Teknik Perkapalan
12 April 2010 16:49:01
Tidak ada komentar:
Posting Komentar